KETIKA CINTA BERUJUNG KEMATIAN

 

Yusnanik Bakhtiar S.H. LL.M

(Sebuah Kajian Pidana dan Kriminologi atas Tragedi di Balik Hubungan Dengan Orang Terdekat)
OLEH : YUSNANIK BAKHTIAR, S.H., LL.M
Dosen Prodi Hukum Universitas Negeri Padang dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum FH Universitas Andalas

Cinta, dalam maknanya yang paling luhur, seharusnya menjadi ruang perlindungan.
Namun, di sejumlah peristiwa tragis, cinta justru menjadi latar dari tindak kekerasan. Akhir akhir ini berita kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang terdekat marak terjadi. Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang polwan di Lombok Barat terhadap suaminya yang juga anggota polisi pada pertengahan Agustus 2025. Ini adalah salah satu kasus dari sekian banyak kasus pembunhan oleh orang terdekat terutama pasangan. Fenomena ini menampar nurani publik. Mengapa seseorang bisa tega menghilangkan nyawa orang yang seharusnya ia lindungi. Pasangan yang seharusnya menjadi tempat teraman dan ternyaman justru yang menjadi penyebab kematian. Kronologi kejadian dimana Briptu Rizka Sintiyani, istri dari Brigadir Esco Fasca Rely, diduga menjadi pelaku utama dalam kasus pembunuhan yang mengguncang institusi tempat mereka bertugas. Peristiwa berdarah ini bermula dari pertengkaran hebat antara keduanya, diduga pemicunya adalah faktor ekonomi antara pelaku dan korban. Korban ditemukan tidak bernyawa dikebun belakang rumah mereka. Di atas kertas, hubungan suami-istri seharusnya menjadi benteng terakhir bagi rasa aman. Tapi di dunia nyata, rumah bisa berubah menjadi tempat paling berbahaya terutama ketika konflik batin, tekanan emosional, dan rasa curiga tak lagi terkendali. Kasus Briptu Rizka dan Brigadir Esco memperlihatkan ironi itu. Keduanya anggota kepolisian, terbiasa menegakkan hukum, tetapi akhirnya justru terjerat di dalamnya.
Pembunuhan adalah pelanggaran paling berat terhadap hak asasi manusia: hak untuk hidup. Filsafat hukum menegaskan, tidak ada alasan moral yang bisa membenarkan tindakan mengambil nyawa orang lain, apa pun motifnya. Pasal 338 KUHP menegaskan, “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.” Namun ketika pembunuhan dilakukan dengan rencana, Pasal 340 memperberat ancaman menjadi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Di dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 menegaskan di dalam Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023: "Setiap orang yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun". Pasal 459 mengatur pembunuhan berencana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.
Kekerasan yang menyebabkan kematian yang dilakukan dalam ruang lingkup rumah tangga masuk ke dalam tindak pidana khusus yang di atur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 44 ayat (3) “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Dari sisi ilmu dasar seperti kriminologi dan psikologi hukum pembunuhan oleh orang terdekat jarang lahir dari niat jahat murni. Biasanya, ini hasil ledakan konflik emosional yang menumpuk lama, pertengkaran rumah tangga, tekanan ekonomi, rasa cemburu, atau dendam kecil yang membesar. Psikolog forensik menyebut fenomena ini sebagai love-hate crime kejahatan yang lahir dari campuran cinta dan kebencian. Pelaku biasanya tidak asing dengan korban; mereka saling tahu kelemahan satu sama lain. Hubungan emosional itulah yang membuat tindakannya tampak “tidak rasional tapi terasa pribadi.” Dari sisi sosiologi hukum, ada faktor lain, budaya diam. Dalam banyak kasus, kekerasan dalam rumah tangga dibiarkan bertahun-tahun tanpa dilaporkan. Korban dan pelaku biasanya sama-sama diam ketika terjadi konflik tanpa mencari jalan keluar permasalahan rumah tangganya. Saat konflik meledak, korban dan pelaku sama-sama terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar.
Dalam kasus pembunuhan oleh orang terdekat, sering kali pelaku mencoba menutupi jejak dengan cara menghapus pesan, mengatur alibi, atau mengubur korban di tempat tersembunyi.
Di sinilah forensik berbicara. Forensik medis memastikan penyebab kematian apakah luka tusuk, cekikan, atau racun. Forensik digital dapat mengungkap pesan terakhir, rekaman CCTV, hingga riwayat pencarian di ponsel pelaku. Psikologi forensik membantu menentukan apakah pelaku sadar penuh saat melakukan pembunuhan tersebut. Dalam banyak kasus, hasil digital forensik justru menjadi bukti paling kuat. Namun di sisi lain, banyak praktisi hukum mengeluh bahwa penegakan hukum masih terlalu legalistik menunggu bukti formal, sementara motif dan kondisi emosional pelaku jarang dipertimbangkan secara mendalam.
Dunia akademik menilai, penegakan hukum kita sering gagal membaca faktor manusia di balik kejahatan. Peneliti hukum dan kriminolog mendorong pendekatan restoratif keadilan yang tidak hanya menghukum, tapi juga memulihkan. Mengingat jika pelaku adalah suami/ istri ada anak-anak yang masih memerlukan kehadiran orang tua di sampingnya. Namun, di sisi praktisi, tuntutan publik dan tekanan media sering membuat aparat penegak hukum memilih jalan paling cepat, menjerat pelaku dengan pasal pembunuhan berencana dan menuntut hukuman maksimal.
Kasus pembunuhan oleh orang terdekat bukan sekadar soal pasal pidana. Ini soal emosi, relasi, dan kemanusiaan. Diperlukan sinergi antara pendekatan ilmiah dan praktik hukum. Ilmu murni memberi dasar moral. hidup tidak boleh diambil dengan alasan apa pun. Ilmu dasar menjelaskan penyebab psikologis dan sosial, agar sistem pencegahan bisa dirancang lebih baik. Ilmu terapan memastikan bukti ilmiah digunakan secara profesional dan adil di pengadilan. Hukum pidana seharusnya tidak hanya menghukum, tapi juga mengajarkan manusia untuk memahami diri dan mengendalikan emosi.
Jika hukum pidana menjawab “apa yang terjadi”, kriminologi mencoba menjawab “mengapa itu bisa terjadi”. Banyak ahli melihat pembunuhan karena cinta bukanlah kejahatan murni yang rasional, melainkan ledakan dari emosi moral. Kriminolog Jack Katz menyebutnya sebagai “the seductions of crime” ketika rasa dipermalukan, dikhianati, atau kehilangan kendali moral membuat seseorang melampaui batas nalar hukum. Dalam konteks relasi romantik, pembunuhan sering berakar pada rasa memiliki yang salah arah. Cinta yang seharusnya saling menghargai berubah menjadi relasi kekuasaan: “Kalau bukan milikku, tak boleh jadi milik siapa pun. ”Dari sinilah muncul apa yang disebut intimate homicide, pembunuhan dalam relasi intim, fenomena yang di seluruh dunia menduduki posisi tertinggi dalam kasus kekerasan domestik.
Kriminologi juga melihat faktor sosial dan gender, perempuan yang hidup dalam kekerasan rumah tangga bertahun-tahun kadang melakukan pembunuhan sebagai bentuk perlawanan ekstrem, sementara laki-laki kerap melakukan pembunuhan karena kehilangan kendali atas pasangan yang dianggap “meninggalkannya.” Dalam dua-duanya, kejahatan tidak lahir dari niat jahat semata, melainkan dari relasi kuasa dan tekanan emosional yang membusuk tanpa penyelesaian.
Kita hidup dalam budaya yang sering memuja cinta sebagai pengorbanan tanpa batas.
Namun dalam realitasnya hukum, pengorbanan yang buta bisa berubah menjadi pelanggaran.
Banyak pelaku kejahatan cinta tidak sadar bahwa mereka sudah melampaui batas antara kasih dan kekerasan. Konstruksi sosial tentang “cinta yang harus dimiliki” turut memperkuat pandangan posesif. Dalam banyak kasus, pelaku merasa memiliki hak atas pasangan, baik secara tubuh, waktu, maupun kehidupan. Ketika hak itu “dirampas”, rasa kehilangan berubah menjadi dendam, dan dendam itu menjelma menjadi tindak pidana. Di sini kriminologi bertemu dengan sosiologi, bahwa kejahatan bukan hanya soal hukum, tapi juga soal nilai dan cara kita mencintai.

© Copyright 2022 - ganyangnews.com